Dosen, Tutor, Aktivis dan Pengamat Masalah Sosial.

Tabolabae: Pemerintah Berdendang, Rakyat Digilas Realitas

Selasa, 19 Agustus 2025 15:22 WIB
Bagikan Artikel Ini
img-content
Silet Open Up dan Diva Aurel menyanyikan lagu Tabola Bale dalam upacara HUT ke-80 RI di Istana Merdeka, 17 Agustus 2025. Dok. YouTube Sekretariat Presiden
Iklan

Ketika para elit dengan penuh percaya diri menyanyikan lagu kemenangan atas keberhasilan pembangunan, rakyat justru tenggelam dalam penderitaan

Oleh : Serfina Hoar Klau, M. Pd

Tabolabae Sebagai Instrumen Legitimasi

Pada perayaan HUT RI ke-80, lagu Tabolabae dipilih sebagai bagian dari upacara kenegaraan. Lagu tersebut, secara historis dimaknai sebagai simbol kemenangan dan semangat perjuangan masyarakat. Disajikannya lagu Tabolabae dalam konteks perayaan nasional dapat dibaca sebagai usaha pemerintah untuk memberikan ruang representasi terhadap budaya lokal untuk terus berkembang dan memperlihatkan keterhubungan yang baik antara negara dan masyarakat.

Namun, di tengah kondisi sosial yang rancuh penuh tekanan mulai dari naiknya harga kebutuhan pokok, sulitnya akses terhadap pekerjaan yang layak, upah yang tidak layak, pengangguran, ketidakadilan, pelanggaran HAM hingga marginalisasi masyarakat adat, penggunaan lagu ini juga tidaklah tepat karena menimbulkan pertanyaan mengenai kesesuaian antara pesan simbolik dan kenyataan empirik.

Lagu tersebut berpotensi menjadi instrumen legitimasi yang menyamarkan ketimpangan, karena penyajiannya pada level kenegaraan memberikan gambaran ideal mengenai semangat persatuan, seolah-olah seluruh rakyat berada dalam kondisi yang layak untuk merayakan kemenangan. Padahal kenyataannya rakyat hari ini sedang dibolak-balik oleh ketimpangan sosial,seperti ; pengangguran, ketidakadilan, kemiskinan, persoalan humman trafficking dan masalah-masalah sosial lainnya. 

Ketimpangan Sosial dan Distorsi Makna Kemenangan

Dalam kerangka kritis, simbol-simbol budaya sering digunakan untuk membentuk persetujuan sosial tanpa melalui paksaan langsung. Lagu Tabolabae dapat berfungsi sebagai sarana untuk mengalihkan perhatian publik dari realitas struktural menuju simbolisme emosional. Ketika syair tentang kemenangan dinyanyikan dalam ruang kekuasaan, masyarakat yang sedang berjuang dalam tekanan ekonomi ditempatkan sebagai objek dalam narasi idealistik tersebut.

Hubungan antara negara dan rakyat kemudian dikonstruksi secara vertikal: negara merayakan “kemajuan”, sementara rakyat diharapkan mengikuti narasi tersebut tanpa ruang untuk mengajukan kritik. Perayaan HUT RI, dalam konteks ini, berisiko mengalami reduksi makna ketika simbol dan lagu lebih menonjol daripada refleksi kritis terhadap kondisi sosial yang sebenarnya terbolak-balik oleh sistem yang berlaku. 

Refleksi Kritis atas HUT RI ke-80

Perayaan kemerdekaan seharusnya menjadi momen evaluatif untuk meninjau sejauh mana cita-cita kemerdekaan diwujudkan melalui kebijakan nyata. Tanpa pengakuan terhadap struktur ketimpangan yang masih berlangsung, penyampaian lagu kemenangan seperti Tabolabae justru menimbulkan disonansi di tengah masyarakat. Ketika pemerintah berdendang, sebagian rakyat merasakan bahwa suara mereka tidak pernah benar-benar didengarkan.

Distorsi antara simbolisme upacara dan pengalaman sehari-hari menandakan bahwa nasionalisme telah berubah menjadi seremoni, bukan lagi kekuatan transformasi sosial. Oleh karena itu, makna substantif kemerdekaan hanya akan terwujud apabila simbol-simbol budaya tersebut disertai dengan keberpihakan nyata terhadap rakyat yang selama ini terdampak ketidakadilan.

 

Bagikan Artikel Ini
img-content
Erfin Klau

Penulis Indonesiana

0 Pengikut

Baca Juga











Artikel Terpopuler